Malin Koendang

Saturday 6 April 2013


Pada zaman dahulu kala, hiduplah hidup seorang  perempuan yang bernama Dayang sumbi, ia hidup di desa terpencil Sumatera Barat. Konon katanya, Malin ialah anak yang sangat sopan dan patuh, terutama terhadap ibunya. Malin ialah anak yatim, beberapa tahun setelah ia dilahirkan ke bumi ini, entah penyakit apa yang menyerang, ayahnya tak kuat menahan rasa sakit yang ia hadapi, dan suatu hari ayah malin tak kunjung bangun dari tidurnya,ya  ia telah mati, entah, mungkin sekarang ayahnya sedang bermain dengan bidadari – bidadari kayangan, ataupun sedang menerima petaka dari Yang Kuasa.


    Suatu saat, malin berencana akan membantu ibunya mencari buah – buahan di hutan sana,
Malin berkata ‘Ibu, hari ini aku akan mencari buah – buahan dihutan’
Setelah menerima izin dari ibundanya, Malin lekas mempersiapkan apa saja yang harus ia bawa, mulai dari parang,tas (mungkin) dan caping untuk melindungi kepalanya dari sengatan matahari. Setelah sholat shubuh, ia bersiap – siap  di depan rumah, menunggu sang fajar menyingsing, mungkin karena pada saat itu rumah-rumah di daerah itu berada hampir di pelosok hutan, otomatis matahari pasti akan menyinari tempat itu sangat…sangat…sangaaat terlambat. 
Setelah matahari mulai tampak, ia pun menyisir ke arah selatan tempat tinggalnya, hutan yang masih jarang dikunjungi oleh masyarakat sekitar, dan suatu ketika ia menemukan tempat yang sangat istimewa
‘aduh, banyak kali ini buah aku temukan dialas ini’
Aku makan saja sebagian dari buah ini’
Setelah memakana buah – buah tersebut, malin makin senang dengan daerah itu, ia tak kunjung kembali hingga malam menjelang..
Ternyata malin tertidur, ia baru sadar ketika matahari pada hari esok mulai muncul, ia kaget
‘apa yang ku lakukan , bagaimana dengan Ibu di rumah, apa tidak khawatir dengan aku e ‘
Tak lama, ia mulai merapikan apa saja yang harus ia bawa pulang untuk ia berikan kepada Ibunyaa.
Sepanjang perjalanan malin berfikir untuk membawa barang – barang, ataupun buah – buahan tadi, yang ia temukan di hutan sana agar dapat menghasilkan uang yang melimpah untuk dapat membahagiakan sang ibu.
    Hari demi hari ia mengambil buah – buahan tersebut, ia bawa pulang, kembali lagi, dan suatu saat ia berfikir
‘kenapa tak aku jual kali ini buah?’
Ia membicarakan hal itu dengan ibunya setelah sholat ashar, dan telah ia buat keputusan bahwa suatu saat nanti ia akan merantau ke negeri seberang untuk menjual buah – buahan yang ia temukan tadi.
#beberapa tahun kemudian

    Kini malin telah menginjak usia 17 tahun, ia telah siap untuk merantau ke dunia luar, dan sekaligus dengan tujuan utama untuk mencari harta, pada hari itu niatnya telah bulat, semangatnya berkobar – kobar bagaikan semburan api dari flamethrower para pejuang nazi.
Hari perpisahan telah tiba, ia beserta awak kapal yang ia sewa dari daerahnya melaju, sedikit demi sedikit bayangan sang ibu mulai lenyap ditelan ombak – ombak laut  sumatera yang ganas, ia memendam ribuan harapan pada perjalanannya hari itu.
    Tibalah ia di daerah tujuannya, Malin mulai menjual dagangannya satu persatu. Hari demi hari dagangan malin mulai terkikis, ia menjadi kaya dalam hitungan minggu. Bahkan dalam kurun waktu 2 bulan saja, ia dapat membeli beberapa hektar lahan yang akan ia tanami biji – bijian yang ia ambil dari negerinya. Setelah puas dengan kekayaan yang ia miliki, Malin kini telah goyah akal sehatnya, kini ia sangat malu dengan orang – orang miskin yang pernah ia kenal, terutama sehabat – sehabatnya yang tak berhasil, dan kini ia mengada – ada cerita tentang hidupnya di negeri sana.
    Datanglah waktu dimana semua pedagang pulang ke daerah sumatera, ia pun kembali pulang bersama dengan ribuan koin – koin emas yang ia pungut di negeri sana, bersama dengan seorang istri yang sangat ia cintai. Tak lama setelah kehadirannya di daerah kelahirannya, ada seorang nenek yang memeluknya sambil berkata ‘Oh anakku, Ibu sangat senang engkau bias kembali ke negerimu dengan selamat, oh anakku, Ibu sangat khawatir padamu’
Malin kaget, ia sangat merasa malu pada orang – orang yang mengikutinya, ia fikir, bagaimana dengan reputasinya jika mereka tau bahwa Ibunya ialah seorang miskin, bahkan bajupun sudah kumal dan tak terawatt lagi. Malin berkata ‘hei, siapa kau berani memegangku dengan tangan kotor kau,’
Ibu malin kaget, ia lalu mengucap ‘DURHAKA KAU, MALIN.. IBU KUTUK KAU ! SEMOGA  ALLAH MEMBERI BALASAN PADAMU ! beberapa saat setelah ibu malin pergi, angin bertiup kencang, petir menyambar – nyambar , dan ombak besar menghantam kapalnya, setelah petir ketiga, semua menjadi batu, mulai dari koin sampai dengan dirinya…